Kamis, 17 Maret 2011

Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan

I.PENDAHULUAN

Kesenjangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini, dan juga selalu menjadi isu penting untuk ditinjau. Di negara berkembang masalah kesenjangan telah menjadi pembahasan utama dalam menetapkan kebijakan sejak tahun tujuh puluhan yang lalu. Perhatian ini timbul karena adanya kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi. Dari hasil penelitian ini telah mengembangkan anggapan yang menyatakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembagian pendapatan terdapat suatu trade-off, dimana pertumbuhan ekonomi yang pesat akan membawa konsekuensi meningkatnya ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya. Sebaliknya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang cukup baik akan dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat atau diturunkan.
Permasalahan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kemiskinan, biasanya terjadi pada negara miskin dan berkembang.Kemiskinan itu terjadi karena satu keadaan di mana seseorang itu kekurangan bahan-bahan keperluan hidup. Dalam masyarakat modren, kemisikinan biasanya disamai dengan masalah kekurangan uang.

II. PEMBAHASAN

Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan
kemiskinan ialah satu keadaan di mana seseorang itu kekurangan bahan-bahan keperluan hidup. Dalam masyarakat modern, kemisikinan biasanya disamai dengan masalah kekurangan uang. Sedangkan,Kesenjangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini, dan juga selalu menjadi isu penting untuk ditinjau.

*Factor-faktor penyebab kemiskinan*
Dalam masalah Suara Yaahowu (yang tidak terbit lagi) no. 4 Tahun 1 September 1996, Juliman Harefa mengutuip Suara Yaahowu edisi perdana (yang penulis tidak miliki) yang merangkum 7 hal penyebab keterbelakangan Nias. Ketujuh hal tersebut adalah: (1) tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah, (2) cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif, apatis dan anti hal-hal baru, (3) mentalitas dan etos kerja yang kurang baik, (4) keadaan alam yang kurang mendukung, (5) keterisoliran secara geografis dari pusat, (6) tiadanya potensi atau produk andalan, (7) rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah.
Faktor-faktor di atas dapat diperdebatkan validitasnya karena sejumlah alasan berikut. Pertama, terlihat hubungan kausal dan sirkuler (berputar-putar) antara beberapa factor. Sebagai contoh, faktor pertama (tingkat pendidikan yang rendah) bisa menjadi penyebab (kausa) dari faktor kedua (cara berpikir tradisional dan konservatif); tetapi bisa juga sebaliknya (ingat kasus: telur-ayam-telur). Menurut hukum kausalitas, sebenarnya kedua factor itu tidak setara: yang satu menyebabkan yang lain, maka kedua faktor itu sebenarnya bisa dan harus direduksi menjadi satu, sementara yang lain hilang. Tetapi proses reduksi tidak mungkin karena adanya sifat sirkuler itu. Dengan demikian, kedua faktor tersebut gugur dengan sendirinya.
Kedua, dan ini lebih serius sifatnya: ada tiga faktor yang merujuk kepada “pengkambinghitaman” alam, yakni faktor (4), (5) dan (6). Hal ini agak mengherankan, sebab berbagai kasus besar sepanjang sejarah dunia menunjukkan hal yang sebaliknya: alam yang sering mengganggu, mengambuk dan tidak bersahabat justru menjadi pemicu dan pendorong lahirnya kreativitas manusia sepanjang zaman, pendorong lahirnya ilmu dan teknologi yang memungkinkan manusia tidak saja berhasil menjinakkan alam tetapi juga menaklukkannya. Dua dari begitu banyak contoh dapat dikemukakan di sini: Jepang yang terletak di daerah gempa (seperti juga Nias) dan miskin sumber daya alamnya dan Australia modern yang lahir dari perjuangan “para orang buangan bangsa Eropa” yang menantang alam “terra incognita” Australia.

Memang, seperti dikemukakan van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1980), ada tahap kebudayaan yang disebutnya tahap ontologis di mana manusia pasrah pada alam, tahap di mana manusia mencari jawaban ‘seadanya’ dari pertanyaan yang sering mengusik eksistensinya setiap saat. Pada tahap itulah, misalnya, masyarakat meyakini kausalitas antara bunyi gendang, tambur atau kentong yang dipukul dengan menghilangnya gerhana bulan. Hal (baca: tahap) itu masih dialami masyarakat Nias pada tahun 1970an ke bawah, bahkan masih dijumpai di sana sini hingga saat ini. Persoalannya adalah kita, yang bangga disebut kaum “intelektual”, kaum “terdidik” seperti masih berada dalam tahap ontologis itu.

Ketiga, kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktor-faktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan). Faktor-faktor yang dikemukakan di atas terlalu sulit (kalau tidak mustahil) untuk dikuantifikasi, sehingga kita tidak akan pernah bisa memunculkan suatu rujukan bersama daripadanya. Dengan demikian, membicarakannya saja sudah akan menggiring kita ke dalam suatu perdebatan yang melingkar-lingkar dan tak berkesudaan.

Keempat, dengan menggugat 5 (yaitu faktor no 1, 2, 4, 5, 6) dari ke 7 faktor yang dikemukakan di atas, rangkuman tersebut menjadi tidak relevan. Namun terlepas dari argumen ini, faktor ke 7 (rendahnya kinerja dan budaya korup aparat pemerintahan di daerah) semestinya tidak dimasukkan menjadi salah satu faktor penyebab keterpurukan. Faktor ke 7 justru seharusnya menjadi asumsi dasar atau prakondisi pembangunan itu sendiri: pembangunan daerah dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah yang bersih, berkinerja tinggi, dan mempunyai visa dan misi yang jelas. Asumsi dasar atau prakondisi ini akan bisa direalisasikan oleh DPRD yang bekerja baik, jujur, berdedikasi tinggi, berwawasan luas, yang akan memilih untuk masyarakat Nias seorang pemimpin yang pada dirinya melekat asumsi dasar tadi.

*Indikator Kemiskinan*

Untuk pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin maka diperlukan indikator yang lebih merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya di masyarakat. Indikator untuk menentukan fakir miskin tersebut ialah :

1.Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang diukur dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan kabupaten/ kota.

2.Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/ beras untuk miskin/ santunan sosial).

3.Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap perorang pertahun).

4.Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.

5.Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.

6.Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.

7.Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.

8.Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.

9.Ada anggota keluarga usia 15 tahun keatas yang buta huruf.

10.Tinggal dirumah yang tidak layak huni.

11.Luas rumah kurang dari 4 meter persegi.

12.Kesulitan air bersih.

14..Rumah tidak mempunyai sirkulasi udara.

15.Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat).

Indikator tersebut sifatnya multidimensi, artinya setiap keluarga fakir miskin dapat berbeda tingkat kedalaman kemiskinannya. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi semakin fakir keluarga tersebut dan harus diprioritaskan penanganan.

*Perbedaan Kemiskinan dengan Ketimpangan Pendapatan.*

- Kemiskinan berkaitan dengan standar hidup yang absolut.
- Sedangkan Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat.

*Kebijakan anti kemiskinan*

Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front : (i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin, (ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi, (iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.
Untuk mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :

1. Intervensi jangka pendek, berupa :

1. Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
2. Manajemen lingkungan dan SDA
3. Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
4. Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
5. Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)

2. Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
a. Pembangunan/penguatan sektor usaha
b. Kerjsama regional
c. Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
d. Desentralisasi
e. Pendidikan dan kesehatan
f. Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
g. Pembagian tanah pertanian yang merata.


III. KESIMPULAN
Kemiskinan ialah satu keadaan di mana seseorang itu kekurangan bahan-bahan keperluan hidup. Dalam masyarakat modern, kemisikinan biasanya disamai dengan masalah kekurangan uang. Sedangkan,Kesenjangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini, dan juga selalu menjadi isu penting untuk ditinjau. Kemiskinan itu disebabkan dari berbagai faktor yaitu pertumbuhan, pendidikan, dan tingkat ekonomi. Dimana masih banyak masyarakat di dunia ini ketingalan berbagai faktor tersebut. Maka, dengan ini pemerintah harus menambah lapangan pekerjaan, meningkatkan mutu pendidikan, serta sistem ekonomi yang semaksimal mungkin agar masyarakat di dunia ini tidak ada lagi yang kelaparan akibat 3 faktor tersebut.

IV. DAFTAR PUSTAKA
1. http://ms.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
2. http://findiyuningsih.blogspot.com
3. http://putracenter.net

2 komentar:

  1. Caesars Sportsbook Launches New NJ App - JMH Hub
    Caesars Entertainment 순천 출장마사지 and the National Basketball Association (NBA) have been partnering with 광주 출장마사지 the league and their official official site 경상남도 출장안마 for 당진 출장마사지 the first time. 포천 출장마사지

    BalasHapus